Entri Populer

Kamis, 10 Januari 2013

9 Januari 2013 by R. Graal Taliawo RSBI Watak “Bebek” Akhirnya, pada Selasa (08/01/2013), konsep Rintisan Sekolah Bertara(i)f Iinternasional (RSBI) yang selama ini diterapkan dalam sistem pendidikan nasional kita, dipatahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Syukur untuk hal itu, sebab RSBI adalah satu di antara banyak praksis bermasyarakat dan berbangsa kita yang tidak berbasis pada konteks dan lokalitas bangsa ini (bukan sekedar berlawanan dengan UUD 1945). Meski begitu, penolakan MK atas diterapkannya konsep RSBI, sesungguhnya masih belum cukup sebagai koreksi atas sikap dan cara pandang masyarakat dalam melihat dan memahami sesuatu yang lain dan berasal dari luar bangsa ini. Betul bahwa salah satu pokok masalah penting dari penolakan kehadiran RSBI adalah karena adanya unsur kesengajaan komersialisasi di dalam praktekknya, termasuk adanya tindakan diskriminantif negatif dan perlakuan ketidakadilan oleh pihak penyelenggara pendidikan terhadap siswa miskin-”bodoh”. Bahkan, RSBI pun seakan telah menjadi satu sistem sekolah yang lebih baik, lebih berkualitas, dan lebih unggul, karenanya publik (siswa) yang berbondong-bondong hendak memasukinya akan dipatok wajar untuk membayar mahal. Dampaknya, hanya orang-orang tertentu (yang dicap kaya dan “cerdas”), yang berhak mengenyam pendidikan di sekolah berkedok internasional itu. Itulah fakta umumnya, sebuah bentuk kapitalisasi dan kastanisasi pendidikan akut yang menjijikan. Akan tetapi substansi atas kritik terhadap RSBI mestinya tidak hanya di sana. Apalagi, sebagian masyarakat kita juga nampaknya antusias dan serasa berbangga jika anak atau dirinya masuk dan bersekolah di RSBI. Gejala ini mestinya bisa menghadirkan pertanyaan untuk refleksi: mengapa ada segelombang masyarakat yang secara sadar dan sengaja mengeja-ngejar status menjadi siswa di lembaga berlabel internasional? Fenomena apa ini? ** Masyarakat harus bisa melangkah lebih jauh dalam melihat dan menempatkan gejala meng-internasional dalam sistem pendidikan kita ini hari ini–termasuk dalam banyak aspek hidup sosial kita lainnya, seperti menjadi artis yang Go Internasional, menjuarai kompetisi Internasional, menjadi Universitas Internasional, dan macam label internasional lainnya–sebagai sebuah gambaran yang tidaklah biasa serta adalah persoalan serius. Dengan begitu, pada konteks ini, penolakan atas hadirnya RSBI harus mengarah pada watak yang menyebabkan hadirnya RSBI sebagai konsep dalam sistem pendidikan nasional. Dugaan dan kecurigaan saya adalah bahwa kehadiran RSBI ini, yang kemudian dengan diam-diam sebagian masyarakat kita menyambutnya antusias sedemikian rupa, merupakan dampak dari sebuah KEBODOHAN dan rasa RENDAH DIRI akut. Tak bisa dinafikan bahwa menjadi internasional atau mendapat predikat internasional seakan-akan adalah tujuan dan capaian yang begitu berharga bagi sebagian kita, sehingga mati-matian dikejar. Betul, menjadi bagian dari sesuatu yang meng-internaional adalah tidak salah dan mungkin kadang baik. Meski begitu, tidaklah pula predikat dan status itu kemudian menjadi keharusan untuk dikejar, dicapai, dan digunakan, apalagi menjadi penentu kualitas kemanusiaan dan keadaban seseorang atau bangsa. Sikap haus seperti itu bisa mencerminkan mentalitas “budak” bekas individu dan bangsa jajahan dan “manusia pengekor (bebek)” bagi kita yang seakan “gila” hormat internasional. Kata lain, RSBI sesungguhnya hadir dari kekeliruan cara pandang sebagian kita–utamanya mereka yang membuat aturan–dalam memandang dan menempatkan budaya dan perabadan lain di luar bangsa ini. Manusia-manusia budak jenis itu telah menempatkan sesuatu yang internasional seakan-akan adalah hal berharga yang sedemikian mutlak diperlukan bagi kehidupan. *** Untuk itu, penolakan atas RSBI ini seharunsya membuat masyarakat kita sadar dan perlu merevolusi cara pandangnnya dalam melihat dan menempatkan budaya dan perabadan asing atau kerap dilabel internasional itu. Sikap menghargai perabadan dan budaya orang lain, bahkan bahasanya, tidak lantas harus diikuti oleh sikap menjadikannya sebagai patokan kualitas, ukuran, dan apalagi sebagai sumber utama bagi kemajuan kita. Karena sebagai bangsa, kita bisa tetap maju, berkualitas, dan berkembang meski tidak dibarengi dengan embel-embel internasional, tentu dengan banyak syarat: adanya pendidikan berbasis pada kepentingan siswa (humanis) dan bersesuaian dengan kebutuhan serta konteks masyarakat; munculnya semangat dan kerja sama di antara sesama anak (elit) bangsa; minimalnya kerakusan dan kekorupan sistemik; serta dewasanya masyarakat dalam beragama, dan lain sebagainya. Tanpa keyakinan yang mendasar ini, saya meragukan kita bisa beranjak, baik sebagai individu atau bangsa yang bermartabat dalam dirinya–bukan karena dari luar dirinya! sumber : http://riednograal.wordpress.com/2013/01/09/rsbi-watak-bebek/